Hukum Selasa, 20 Agustus 2024 | 16:08

Jampidum Hentikan 14 Perkara Melalui RJ, Salah Satunya Tersangka Pencurian HP  

Lihat Foto Jampidum Hentikan 14 Perkara Melalui RJ, Salah Satunya Tersangka Pencurian HP    Jampidum Kejagung, Prof. Asep Nana Mulyana. (Foto : Istimewa)
Editor: Richard Saragih

Jakarta, - Jaksa Agung Muda Pidana Umum Kejaksaan Agung (Jampidum Kejagung), Prof. Asep Nana Mulyana menyetujui 14 permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme keadilan restoratif.

Salah satu perkara yang diselesaikan yaitu terhadap tersangka Andriyanto Hulalango alias Mikas dari Kejaksaan Negeri Kabupaten Gorontalo, yang disangka melanggar 362 KUHP tentang Pencurian.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar mengatakan, perkara pencurian itu bermula ketika Andriyanto Hulalango alias Mikas pada Selasa, (4/6/2024) sekitar pukul 19.00 WITA di Ruang Aula Gedung kampus IAIN 2 yang berada di Desa Pone Kecamatan Limboto Barat Kabupaten Gorontalo.

Ditempat itu, bersama kedua saksi korban Alfarizi Saputra Monoarfa alias Putra dan Atila Nambing alias Atila sedang mengikuti lomba.

"Saat saksi korban menaiki panggung untuk melakukan lomba debat, tas beserta handphone INFINIX NOTE 40 warna hitam ditinggalkan di kursi yang diduduki saksi korban. Setelah saksi korban embali dari panggung, melihat di tempat duduknya hanya tertinggal tas dan sementara Handphone-nya sudah tidak ada lagi," kata Harli di Jakarta, Selasa (20/8/2024).

Atas kerjadian itu, lanjutnya, saksi korban melaporkan kejadian kehilangan handphone miliknya kepada pihak yang berwajib, yang mana ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian.

`"Dan pihak kepolisian berhasil menemukan tersangka Andriyanto Hulalango alias Mikas sebagai pelaku Tindak Pidana Pencurian Handphone INFINIX NOTE 40 Warna Hitam milik saksi korban Alfarizi Saputra Monoarfa alias Putra," jelasnya.

Mengetahui kasus posisi tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Gorontalo Muhammad Iqbal dan Kasi Pidum Victor Raymond Yusuf serta Jaksa Fasilitator Irawati Mahardiyatsih dan Oryza Justisia Rizky Winata menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice (RJ).

Dalam proses perdamaian, kata Harli, tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada korban. Setelah itu, korban menerima permintaan maaf dari tersangka dan juga meminta agar proses hukum yang sedang dijalani oleh tersangka dihentikan.

"Selain itu, pelaku juga mengganti kerugian korban senilai Rp 2.899.000," ujarnya.

Usai tercapainya kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Gorontalo mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Plt. Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Gorontalo.

Setelah mempelajari berkas perkara tersebut, Plt. Kajati Gorontalo sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada Jampidum.

"Permohonan tersebut disetujui dalam ekspose RJ," ungkapnya.

Selain itu, Jampidum juga menyetujui 13 perkara lain melalui mekanisme keadilan restoratif, terhadap tersangka:

1. Tersangka Try Panji Pamungkas alias Tri bin Fitnah Laturu dari Kejaksaan Negeri Muna, yang disangka melanggar Pasal Pasal 44 Ayat (1) Jo Pasal 5 huruf a Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

2. Tersangka Supriyanto als Santo bin Siola dari Kejaksaan Negeri Konawe Selatan, yang disangka melanggar Jo Pasal Pasal 80 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Subsidair Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.

3. Tersangka Andi Irawan bin Muhammad Efendy dari Kejaksaan Negeri Palembang, yang disangka melanggar Pasal 335 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang Pengancaman.

4. Tersangka Elfitri Dayani binti H. Umar Mahmud dari Kejaksaan Negeri Lahat, yang disangka melanggar Pasal 80 Ayat (1) Jo Pasal 76 C Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

5. Tersangka Abdul Munir als Dulo dari Kejaksaan Negeri Minahasa, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.

6. Tersangka Sahril Maku alias Sahril dari Kejaksaan Negeri Bolaang Mongondow Utara, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.

7. Tersangka Syamsurizal als Izal bin Samsir (Alm) dari Kejaksaan Negeri Pekanbaru, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.

8. Tersangka Roni Hendro Susilo pgl Roni dari Kejaksaan Negeri Sawahlunto, yang disangka melanggar Pasal 378 KUHP tentang Penipuan dan Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.

9. Tersangka Jumanto alias Manto dari Kejaksaan Negeri Asahan, yang disangka melanggar Pasal 480 KUHP tentang Penadahan Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. 

10. Tersangka Ahmad Irfandi dari Kejaksaan Negeri Belawan, yang disangka melanggar Pertama Pasal 378 KUHP tentang Penipuan atau Kedua Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.

11. Tersangka Ripai Pakpahan dari Kejaksaan Negeri Humbang Hasundutan, yang disangka melanggar Pasal Primair Pasal 310 Ayat (4) Jo Pasal 106 Ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Subsidiair Pasal 310 Ayat (3) Jo Pasal 106 Ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

12. Tersangka M Safii dari Kejaksaan Negeri Karo, yang disangka melanggar Primair Pasal 374 KUHP tentang Penggelapan dalam Jabatan Subsidair Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.

13. Tersangka Erizal dari Kejaksaan Negeri Medan, yang disangka melanggar Pasal 480 Ayat (1) KUHP tentang Penadahan.

Harli menjelaskan, alasan pemberian penuntutan dikarenakan para tersangka dan korban telah saling memaafkan.

Selain itu, para tersangka belum pernah dihukum dan baru pertama kali melakukan perbuatan pidana.

Lebih lanjut, kata Harli, ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun. Lalu, para tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya.

"Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi," pungkasnya.[]

Berita Terkait

Berita terbaru lainnya